Entertainment

Musik rock pada era digital

21
×

Musik rock pada era digital

Sebarkan artikel ini
Musik rock pada era digital

Ibukota – Perkembangan teknologi dari analog ke digital pada memproduksi musik, secara segera turut mengubah lapangan usaha musik, teristimewa bagaimana musik itu dibuat juga dikonsumsi.

Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya pemasaran album fisik, misalnya God Bless melalui album Semut Hitam pada 1988 dengan total jualan sekira 400 ribu copy. Sedangkan pada era semi-digital Jamrud bisa jadi menembus 2 jt copy melalui album Ningrat pada 2000.

Padi, Dewa, juga Cokelat adalah beberapa band yang dengan embel-embel rock rock alternatif atau pop-rock — yang tersebut pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi usaha sebelum era digital benar-benar bergulir.

Era digital pada produksi musik ibarat "taman bermain" bagi musisi. Mereka sanggup menciptakan efek suara, bereksperimen, juga serangkaian rekaman berubah jadi lebih lanjut praktis.

Namun, peluncuran teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakati bahwa teknologi digital begitu berguna di rute produksi.

Permasalahannya adalah di mana format musik digital MP3 begitu simpel diunduh, disebar, lalu dinikmati pada bentuk "bajakan".

"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tak terlalu terasa. Tapi di mana CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan di dalam mana-mana. Tapi, musik masih bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho untuk ANTARA.

Sistem bajakan bukanlah hal baru pada lapangan usaha musik sebab sudah ada sejak zaman kaset pita. Jadi, tidak alasan bagi musisi untuk habis akal walaupun masih susah untuk dilawan.

 

Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama Indonesi yang dimaksud dirintis Oetojo Soemowidjojo dan juga Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada 29 Oktober 1956 yang memproduksi serta duplikasi piringan hitam hingga cassette audio. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)

Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan setelahnya era itu, tiada ada album yang dimaksud bisa saja menembus satu jt kopi hingga 2010. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy cuma sudah ada mendapat gelar kejuaraan platinum.

Tentu, hal itu adalah dekade yang digunakan penuh tantangan untuk pemusik. Lantas bagaimana merek bertahan pada periode transisi teknologi serta usaha itu?

"Jangan dikarenakan pernah jual satu jt copy kemudian sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah lalu malas," kata Ronny. "Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya ketika teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana kesempatan pada masa depan."

"Teruslah berkarya, dikarenakan karya terbaik akan permanen dicari. Musik tak akan mati. Bisnis lain bukan berakhir dengan hadirnya digital, bukan?" kata dia.

Eet Sjahranie, gitaris Edane dan juga mantan personel God Bless, tidak ada punya resep khusus untuk bertahan dalam skena musik rock selama lebih tinggi 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.

"Kuncinya akibat senang. Bukan tak butuh duit. Tapi kalau senang, ya tak kepikiran yang digunakan lain. Berkarya sekadar terus," kata Eet.

Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tiada mau ambil pusing persoalan transformasi teknologi analog ke digital yang tersebut turut mengubah pola pendengar dari kaset ke streaming melalui ponsel.

"Digital itu memberikan hal yang mana praktis," katanya. "Tidak ada kesulitan serta memang sebenarnya harus terlibat zaman."

Selain pernah sukses sama-sama God Bless, nama Eet juga pernah berkibar pada waktu Edane merilis album 170 Volts pada 2002 dengan hits "Kau Pikir Kau Lah Segalanya".

Dalam transisi pola rekaman, Eet mengakui Edane pun beradaptasi menuju era digital. "Kami sudah ada digital sejak 2004. Terakhir yang mana semi-digital pada 2001. Awalnya masih pakai pita, terus pindah ke digital," kata Eet.

 

Ludacris ketika menyiapkan album digital pada 2003. REUTERS/Jeff Christensen JC/SV

Streaming

Studi "Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net" dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menemuka ada tiga jenis pendengar musik.

Pertama adalah pendengar yang digunakan siap atau berjuang membeli karya. Kedua adalah yang dimaksud tiada pernah membeli tapi menikmati musik melalui radio atau televisi. Dan, ketiga adalah penikmat musik bajakan.

Saat pelanggan CD turun dihantam mudahnya akses musik bajakan, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tidak ada diperlukan membajak musik akibat cukup dengarkan melalui perangkat lunak streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan permanen membeli album fisik.

Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi masih mendapatkan haknya dari pemutar digital itu.

Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli mengkaji era musik rock sudah lebih besar terbuka juga lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.

"Sekarang, rock semakin ramai. Jika gua punya anak pada era 2000-an, kemungkinan besar rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, kemudian kawan-kawannya," katanya.

"Tapi, anak rock sekarang mampu sekadar habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, lalu lain-lain. Mereka tak salah, memang benar era ini menimbulkan referensi berubah menjadi banyak," kata vokalis grup musik Harapan Jaya itu.

"Sekarang, semua pendatang layak berubah menjadi music director karena referensi musiknya banyak."

Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup pijat layar ponsel.

"Saat gua mengungkap Youtube, gua mau tahu the latest band rock. Ternyata, sejumlah yang mana gua belom tahu. Ternyata, ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi, ada juga band rock yang lain, yang digunakan berbeda," kata Ronny.

Bukan sekadar menciptakan musik lebih tinggi praktis, era streaming juga memberikan harapan untuk para musikus untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang dimaksud diputar secara digital.

"Sejauh ini belum cek detail. Tapi, ada report dari record company kalau memang benar ada yang mana masuk juga digital itu ada efeknya," kata Eet.

Eet, Ronny lalu Eddi menafsirkan era musik streaming membuka potensi seluas-luasnya untuk calon musikus untuk berkarya. Berkat kemudahan digital, musik bisa saja diproduksi pada rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien, serta dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.

Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musikus tak semata-mata menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga pelanggan merchandise dalam satu paket.

"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.

Artikel ini disadur dari Musik rock pada era digital